Epilog: Gajah dan kupu-kupu.

Ravenhart's
3 min readFeb 28, 2025

--

Hari ke-50, saat tatto pertama dibuat.

Sudah tiga puluh hari lamanya, Laut menjalankan kehidupan baru di pusat rehabilitasi. Sesekali Biru dan ayahnya berkunjung 'tuk menyapa serta menghabiskan beberapa waktu bermain dengan Laut. Tidak Biru dan ayahnya, bahkan sepupu kesayangan Laut, Jaya serta kawan karibnya Haris pun ikut mengunjungi lelaki berambut coklat madu itu.

Tetapi harap sang remaja tetap saja pupus, dari sekian banyak orang yang berkunjung hanya ibunya yang tidak pernah terlihat sedikitpun tertangkap netra coklat itu mengunjungi dirinya.

Selama berada di tempat rehabilitasi, kesibukan Laut hanya sekedar membaca, menulis, dan checkup rutin setiap harinya. Terdengar monoton dan membosankan memang tapi keseharian itulah yang membantu Laut mendapat kewarasannya sedikit demi sedikit.

Ah, selain membaca atau menulis Laut juga sedang menikmati sela-sela waktunya untuk melukis. Biru yang mengenalnya pada dunia penuh warna tersebut, dan hasilnya akhir-akhir ini wajah serta tangan dan baju lelaki itu selalu penuh dengan bercak warna yang indah, tidak hanya berhenti pada kanvas nyatanya keinginan Laut dalam melukis menjalar hingga ke bagian tubuhnya. Sampai tepat pada hari ke lima puluh Laut mengutarakan keinginannya pertamanya setelah dirinya dirawat di rumah sakit.

“Biru, aku ingin membuat sebuah tatto.” Sebuah pernyataan singkat membuat gadis berambut panjang itu terkejut.

“Tiba-tiba?”

“Yaa, hanya menurutku itu sedikit keren. Jadi aku ingin membuatnya di tubuhku walau hanya satu.” Laut tersenyum tipis seakan menunjukkan keputusannya yang sudah bulat kepada sang lawan bicara.

“Lalu, tatto apa yang kamu inginkan, Laut?”

“Hanya sebuah Semicolon dan kupu-kupu, indah bukan?”

“Apa yang sedang kamu gambar, Laut?” Haris melontarkan sebuah pertanyaan singkat setelah meletakkan sekeranjang buah di atas sebuah nakas di samping tempat tidur Laut, kemudian menatap ke arah sahabat karibnya yang tengah berkutat dengan kanvas putih dan sebuah kuas kecil di depan jendela kamarnya yang terbuka, membiarkan hembusan angin dan cahaya matahari menyirami tubuhnya yang terbalut baju khas pasien.

“Huh? Sebuah keluarga gajah?”

“Lucu, bukan? Lihat Haris, yang ada di depan itu adalah ayahnya, dua yang paling kecil adalah anaknya, dan yang di belakang itu ibunya. Keduanya berjalan berbaris untuk melindungi anaknya dari bahaya.” Beberapa detik yang sunyi usai perkataan tersebut terlontar dari bibir cantik milik Laut, Haris betul-betul buta arah dalam pembicaraan ini, karena sesungguhnya ia pun sama dengan kawan karibnya itu yang asing dengan kasih sayang orang tua.”

“Terkadang aku iri melihat betapa harmonisnya mereka, padahal aku yang melukiskannya begitu. Bodohnya aku.” Tatapan Haris menyendu, ingin rasanya ia menolong sahabatnya untuk segera sembuh dari sakitnya, namun apa daya segala bentuk kesembuhan yang ada tentunya harus berasal dari kemauan Laut itu sendiri, sekarang Haris hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi temannya itu.

Mata Haris menatap Laut dengan seksama, menyapu pandangan pada seluruh yang ada pada temannya itu, entah rambut berantakannya yang mulai memanjang, coretan cat pada pipinya dan sebuah tatto pada garis nadi di tangan kiri sobatnya yang tengah menopang palette berisi cat dan air.

“Sejak kapan kamu senang melukis bagian tubuhmu?” Pertanyaan tiba-tiba itu ia lontarkan pada Laut yang masih asik menggoreskan warna pada lukisannya yang masih setengah jadi. Tangan Laut sempat terhenti sejenak, lalu matanya menatap Haris dengan pandangan teduh.

“Entahlah, anggap saja aku sedang jatuh cinta dengan gambar dan lukisan, hingga aku ingin juga memilikinya satu pada tubuhku. Lagipula ini cantik, bukan?” Laut tersenyum di akhir penjelasannya itu, dan kembali fokus pada lukisannya itu.

Haris terdiam, bukan berarti dia tidak paham apa arti dari lukisan juga tatto pada garis nadi sahabatnya itu, namun kenyataannya hancurnya Laut masih sulit untuk diterima oleh dirinya. Entah itu karena rasa bersalahnya yang tidak cepat tanggap pada keadaan Laut atau bahkan kekecewaan dirinya atas diamnya Laut dengan sakitnya.

Apapun itu, yang Haris harapkan saat ini hanyalah kesembuhan Laut serta kebahagiaannya. Dalam angan sendunya, Haris mengucapkan doa, meramu harap dalam jaring keputusasaan berharap damai yang diimpikan sobatnya dapat terwujud.

“Laut, kamu pantas untuk bahagia.”

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ TAMAT

Sketsa kasar dari lukisan Laut

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Ravenhart's
Ravenhart's

Written by Ravenhart's

Sedikit goresan dari pemohon kedamaian pada sang Semesta.

No responses yet

Write a response