Kelabu Laut
Sore ini Biru datang lebih cepat dari biasanya, dirinya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Laut di tepi pantai seperti biasa. Hari ini tepat sudah sebulan penuh lamanya ia bertemu dengan pemuda bernama Laut di depan laut biru yang luas, 'tak terasa pula dalam tiga puluh hari mengenal Laut, kehidupan Biru menjadi lebih baik. Entah itu perihal sang ayah, kehidupan, serta impiannya.
Terkadang sebuah pikiran konyol terlintas dalam benak sang gadis, berpikir bahwa Laut ini hanyalah sebuah entitas yang terbentuk atas rasa sedihnya atau bahkan seorang merman dengan hati yang baik, konyol memang tapi itu lah Biru, gadis cantik dengan imajinasi liarnya.
Rasa 'tak sabar bertemu memenuhi relung hati gadis dengan senyum manisnya, sebab semalam saat Biru mencoba untuk bertukar pesan dengan Laut, Jaya sepupunya berkata bahwa bahwa Laut sedang tidak bisa diganggu.
Maka dengan senyum cerah sembari menenteng sebuah plastik berisi jajanan ringan, Biru melangkah riang memasuki area pantai matanya menjelajah mencari punggung tegap dengan bahu lebar serta rambut hitam legam yang sangat dia hapal.
Ketemu!
Matanya menangkap objek yang sedari tadi ia cari dengan teliti di antara puluhan pengunjung yang memenuhi area berpasir itu, dengan langkah pasti ia berjalan mendekati Laut, namun ada yang aneh setelah cukup dekat kedua netra indah Biru menangkap gambar bahu sang taruna yang tidak sekokoh biasanya, kali ini bahu itu turun dengan lesu seperti tengah memikul beban yang sangat berat.
Dengan perlahan, Biru mendudukkan diri di samping Laut. Dapat gadis itu lihat betapa kosongnya tatapan itu, mata indah milik Laut kehilangan cahaya kehidupannya, menatap kosong dengan senyum getir ke arah laut lepas.
Bahkan setelah tiga menit duduk di samping Laut, pemuda itu sama sekali tidak menyadari eksistensi dari dirinya. Hanya diam mematung menatap debur ombak seakan jiwa sang taruna ikut terbawa arus kuat ombak.
Tidak tahan dengan sunyi yang mencekik, Biru memberanikan diri menggoyangkan bahu Laut perlahan untuk menarik etensi dari sang empu. “Laut, hei.”
Dengan perlahan Biru memanggilnya, namun tubuh Laut malah tersentak kaget dan baru menyadari adanya Biru yang sedari tadi memandangnya dengan tatapan penuh kekhawatiran.
“Hai, dari kapan di sini?” Senyum tipis Laut berikan kepada Biru, kakinya ditekuk mencapai dada, kedua lengan ditumpukkan di atas lututnya dengan dagu yang ia sandarkan di atas lengannya. Matanya menatap Biru dengan pandangan kosong.
“Sedang ada sesuatu, ya?” Terlontar sudah pertanyaan yang sejak tadi Biru tahan, namun hanya gelengan semata yang Laut berikan
“Tidakkah kamu perbolehkan aku untuk melihat dirimu, Laut?” Biru mulai frustasi, karena sungguh saat ini gadis itu benar-benar buta akan apa yang sedang terjadi, Laut seakan menutup akses untuk Biru mengetahui apa yang sebenernya tengah terjadi pada dirinya.
“Biru, jangan terlalu menyelam ke dalam, nanti kamu tenggelam.” Sang taruna kembali menatap laut biru yang berganti warna menjadi abu-abu, tidak bukan lautnya yang berubah warna namun sang langit memantulkan kelabu pada laut biru.
“Kamu tidak akan membiarkan aku tenggelam.”
“Mengapa begitu percaya?” Kembali Laut menatap Biru yang ternyata sedari tadi masih setia menatapnya dengan pandangan sendu.
“Karena kamu selalu ada untuk menarik ku, saat aku hampir tenggelam.” Sebuah tepukan pelan Laut berikan pada kepala gadis yang masih setia duduk di sebelahnya, tepukan hangat dengan ribuan kata yang terselip tanpa bisa diutarakan.
“Biru, mungkin saja badai akan datang, jadi lebih baik kamu kembali, ya?”
“Badai mana yang kamu maksud, Laut? Badai pada dirimu atau badai pada lautan?” Pertanyaan sarkas Biru lontarkan pada pemuda dengan dengan kaus putih polosnya, membuat sang pemuda terkekeh pelan, kekehan yang sama namun dengan rasa yang berbeda, bagi Biru kekehan saat ini adalah kekehan paling pahit yang pernah dia dengar.
“Badai dari manapun itu, aku mau kamu tetap aman, Biru. Jadi tolong jangan mendekat jika badai itu benar-benar terjadi, ya?”
“Lalu kamu ingin aku diam membiarkan kamu tenggelam sendiri? Iya begitu, Laut Sembada?! Jawab aku!” Sang dara mulai melara dalam peraduan, rasa takut jika tiba-tiba sang labuh direnggut oleh debur ombak menguasai diri membuat dirinya terasa mendidih dan hampir meledak. Laut-nya sedang kelabu, Laut-nya sedang tidak baik-baik saja, namun sesak melanda karena bahkan untuk mengetahuinya Biru tidak diberi izin sama sekali.
“Ya.” Hancur sudah pertahanan Biru, cairan bening membentuk sebuah sungai kecil pada kedua pipinya yang bersemu merah, temboknya hancur, Laut Sembada sukses kembali membawa tangis setelah begitu banyak membawa tawa pada dirinya.
“Dasar egois!”
“Payah!”
“Pengecut!”
Sumpah serapah serta caci maki 'tak luput dalam tangis pilu sang dara. Laut, remaja laki-laki itu dengan setia mendengar semua tanpa mau memotong atau menyangkal semua yang Biru katakan, karena pada dasarnya dia memang pengecut dan egois.
Puluhan menit berlaku dengan posisi yang tetap sama, Biru dengan tangisnya dan Laut yang masih setia memandang laut sembari menemani tangis sang gadis.
Awan semakin kelabu ketika Biru telah menuntaskan tangisnya, matanya membengkak dengan hidung serta pipi yang memerah, ingin sekali Laut usap sisa-sisa air mata pada sang gadis namun diri terlanjur mengecil, karena sadar diri bahwa tangis itu adalah ulahnya sendiri.
“Pulang lah, Biru. Badai benar-benar akan datang sebentar lagi.” Ucap Laut sembari memandang hamparan luas laut yang mulai bergejolak, dengan angin yang mulai mengencang.
Kali ini tanpa banyak bicara, Biru dengan segera berdiri sembari menenteng plastik yang sebelumnya ia bawa untuk dirinya dan Laut. Kakinya mulai melangkah menjauh sebelum sebuah tangan besar menahan pergelangan tangannya dengan lembut, membuat sang gadis terdiam sesaat.
Laut menghentikan langkah gadis itu, lalu dengan cepat berdiri di depannya. Matanya kembali menatap Biru yang diam membisu, dia paham Biru masih sangat marah dan kecewa dengan apa yang Laut katakan tadi, tapi sekali lagi dia memang sebegitu egois hingga tangis seorang gadis pun 'tak dapat menggerakkan hatinya untuk membiarkan Biru melihat dasar dari dirinya.
Tangan Laut terulur melingkari tubuh sang gadis, menyampirkan sebuah jaket denim berwarna biru tua pada bahu Biru tanpa perlawanan yang berarti, wangi angin segar laut merebak dari jaket itu menyapa halus penciuman sang gadis, wangi khas Laut yang selalu dapat menenangkan dirinya.
Setelah memasangkan jaket itu, Laut mendekat lalu memberikan sebuah pelukan singkat disertai usapan lembut pada rambut panjang Biru, dalam pelukan itu Laut berucap, “Badai akan segera berlalu dan mimpi buruk akan segera usai, Biru.”
Sedangkan Biru masih keras dengan pendiriannya untuk tidak membalas semua perlakuan, Laut. Dirinya masih teramat sakit dengan penolakan keras yang ia dapatkan, hingga pelukan berakhir disertai senyum tipis Laut, Biru masih terdiam kaku dengan tatapan pedih.
Tidak kuasa kembali menahan rasa sesak, dengan segera Biru beranjak meninggalkan pantai yang sudah sangat sepi, mengingat angin kencang disertai badai akan datang sebentar lagi.
Sedangkan Laut menatap punggung sang gadis yang berjalan menjauh hingga hilang dari pandangannya, tepat setelah itu hujan deras turun mengguyur dirinya disertai angin kencang.
Tubuhnya yang basah perlahan-lahan berjalan menjauh dari pantai, membiarkan dingin air menusuk kulitnya serta melunturkan sebagian fondation yang menutupi memar pada tubuhnya dengan isi pikiran yang kacau balau.
Disisi lain Biru tengah berteduh di dalam mobilnya, menatap hujan deras dari kaca mobil menerawang jauh pada dua puluh sembilan hari sebelumnya di mana ia habiskan dengan tertawa riang di bawah sinar mentari bersama Laut.
Tangannya menggenggam kuat jaket milik sang pemuda lalu memeluknya erat, berharap banyak akan keajaiban yang mampu membawa kembali warna pada diri Laut, tanpa berpikir bahwa mungkin saja pertemuan tadi menjadi pertemuan terakhirnya dengan sang sahabat sekaligus pujaan hatinya.