Mereka Itu Laskar

Ravenhart's
7 min readFeb 20, 2024

--

Hari ini Laut datang lebih cepat dari biasanya bersama si hitamー nama dari motor besar berwarna hitam miliknya, ia melaju dengan cepat menuju tempat yang selalu ia kunjungi.

Teringat akan janji yang Laut ucapan kepada Biru lewat ponsel genggam milik sang sepupu pada malam sebelumnya, netra madu itu menatap teduh pada hamparan laut biru di depan sana, jernih seakan mengundang orang-orang untuk membasuh diri ke dalamnya.

“LAUT!” Sebuah seruan kencang yang antuasias tertangkap oleh telinga pemuda itu, dengan perlahan membalikkan badan iris matanya menangkap objek gadis cantik dengan pakaian kasual yang beberapa hari terakhir ini sudah dia hapal, bedanya kali ini Biru, gadis itu datang dengan wajah yang luar biasa ceria.

“Sesuatu yang menyenangkan terjadi ya?” Celetuk Laut ketika Biru sudah berdiri tepat di depannya, Biru yang ditanya mengerjap bingung akan apa yang Laut tanyakan.

“Hal baik? Maksudnya?”

“Senyum, kamu tersenyum sangat cerah hari ini. Padahal biasanya selalu wajah murung yang ku dapat saat kamu berkunjung ke pantai ini.”

“Ini berkat kamu tahu!”

“Aku?” Suara Laut penuh akan rasa penasaran, apa sebab dari dirinya yang membuat senyum indah gadis itu mengembangkan di wajah cantiknya.

“Iya, karena kamu. Semalam kamu bilang mau nunjukin sesuatu yang luar biasa kepada ku.” Kekehan pelan mengalun indah, sangat sederhana Laut sampai tak percaya dengan apa yang dia dengar, sederhana baginya untuk tertawa, namun mengapa bumi seakan tak mengizinkan gadis cantik itu untuk selalu berbahagia? Semua pertanyaan itu berputar dalam benak Laut hingga tanpa sadar dirinya termenung.

“Utー”

“Laut!”

“LAUTT!” Sentakan Biru sukses membawa kembali kesadaran Laut, dirinya mendapati raut wajah Biru yang menatapnya dengan pandangan khawatir.

“Gapapa, aku cuman ngelamun soalnya kamu cantik saat tertawa.” Semburat merah menghiasi wajah cantik milik Biru, perutnya seperti diusap oleh sayap lembut kupu-kupu, sangat menggelikan namun terasa menyenangkan.

“Biru, ayo berangkat.” Setelahnya kedua anak Adam dan Hawa tersebut berkendara di atas aspal dengan motor besar milik Laut. Angin menyapa lembut wajah mereka dikarenakan Laut yang membawa motornya secara perlahan mengingat dirinya sedang membawa Biru bersamanya bukan berkendara sendiri.

“Kita mampir ke mini market dulu gapapa?” Suara Laut memecah keheningan hangat yang sedari tadi Biru nikmati.

“Boleh, mau beli sesuatu?”

“Iya, ada beberapa hal yang mau aku beli sebelum ke tempat itu.” Setelahnya mereka menepi di sebuah mini market persimpangan jalan, di dalam sana Laut banyak mengambil beberapa camilan juga bahan pokok rumahan seperti minyak, beras, juga makanan kaleng.

Awalnya Biru tidak begitu memikirkan saat Laut memasukkan banyak jajanan ke dalam troli, dia pikir mungkin saja Laut sedang ingin memakan jajanan karena dia juga kadang seperti itu namun, setelah melihat Laut turut memasukkan bahan pokok rumah tangga Biru mulai mempertanyakan hal itu di dalam batinnya, untuk siapakah gerangan semua hal yang dibeli oleh Laut ini?

Usai membayar belanjaan yang tentu saja mencapai ratusan ribu lebih ditambah minuman yang sudah sempat Biru minum tadi, Laut mengajak Biru segara keluar dari mini market itu, dan berjalan ke arah motor.

“Kamu keberatan ga bawain satu plastik?” Gelengan kuat diberikan Biru untuk menjawab pertanyaan Laut, senyum laki-laki itu mengembang manis.

“Nah, bawa yang jajanan aja ini ringan yang bagian beras atau minyak biar aku aja yang tanganin,” ucapnya dengan lugas, Biru hanya diam mengikuti apa yang Laut katakan pada dirinya, tak banyak membantah pun bertanya Biru memutuskan untuk membiarkan Laut sendiri menceritakan untuk siapa semua hal yang dia beli ini pada waktunya nanti.

Mereka berdua kembali melaju dalam hening, hingga sebuah rumah sederhana dengan halaman luas yang dipenuhi anak kecil berlarian sembari bermain tertangkap oleh mata indah milik Biru.

Selepas mematikan motor, Laut membuka helm lalu Biru turun diikuti oleh Laut setelah memasang standar pada motor miliknya. Mata Biru tak ada habisnya menatap ke sekeliling rumah yang dipenuhi oleh pepohonan dan tanaman yang asri, belum lagi beberapa anak kecil tampak bermain dengan cerianya.

“ABANG LAUTTTT!!” Sebuah teriakan mengejutkan Laut yang tengah merapihkan belanjaan yang tadi sempat ia beli, pun turut mengagetkan Biru yang masih belum usai dengan agenda menatapi rumah berisi banyak anak kecil tersebut.

“Abangg Lauttt!!!” Belum usai keterkejutan kedua remaja tersebut kembali nama Laut diserukan, bukan hanya satu anak tapi oleh seluruh anak yang berlarian mendekat ke arah mereka berdua.

Laut melihat Biru mulai kebingungan mengambil satu langkah di depan Biru lalu bersimpuh untuk menyamakan tingginya dengan anak-anak yang mengerubunginya.

Satu persatu anak yang ada di sana menyalami Laut seperti menyalami seorang kakak yang telah lama tidak pulang ke rumah, pelukan dan ciuman pada pipi tak luput Laut dapatkan dari malaikat-malaikat kecil dengan senyum tulus yang mereka miliki.

Biru, tanpa bisa menahan senyumnya terukir indah bisa dia tebak anak-anak berusia antara lima atau tujuh tahun itu sangat dekat dengan Laut. Berbagai keluh kesah mereka adukan tak luput pula dari ucapan rindu yang selalu diutarakan oleh anak-anak manis itu. Sungguh pemandangan yang indah.

“Abang Laut, Kiara boleh minta gendong gak?” Ucap salah satu anak perempuan kecil yang berdiri di sebelah kiri Laut dengan senyum manisnya.

“Ih Kiara, kan sekarang giliran aku yang digendong sama abang tau!"”

“Tapi aku mau!”

“Aku juga mau kali!” Perdebatan itu hampir terus berlanjut kalau saja suara Laut tidak menginterupsi.

“Nanti abang gendong satu-satu, jangan berantem ya? Lihat abang bawa banyak jajanan buat kalian, nanti dibagi-bagi ya? Gih sana kalian lanjut main.” Sontak anak-anak itu dengan teratur pergi lalu membagikan makanan dengan tertib tanpa ada yang berebut, Biru takjub dengan Laut yang bisa menangani begitu banyak anak tanpa harus mengeluarkan suara tinggi.

“Tempat ini panti asuhan.” Laut berdiri lalu membalikkan badannya menatap Biru yang masih terdiam sejak mereka menginjakkan kaki pada tempat ini.

“Panti asuhan?”

“Iya, tempat indah yang mau aku tunjukkan adalah panti asuhan ini.” Hening menguasai keadaan, Laut yang menikmati angin segar pada hari ini dan Biru yang setia menatap anak-anak dengan senyum ceria.

“Eh, Laut?” Sebuah suara bariton terdengar dari arah rumah, membuat kedua anak Adam dan Hawa itu memalingkan pandangan ke arah sumber suara, di sana nampak seorang laki-laki yang tidak jauh berbeda umurnya dengan Laut berdiri degan apron hitam yang masih terpasang apik pada tubuhnya.

Sontak Laut terkekeh melihat penampilan yang lebih tua. “Kamu cocok pake itu, Bang. Ppfftttー” Senyum tengil khas milik Laut kembali terlihat menghiasi wajahnya.

“Ck, mulai lagi. Ada apa, kok ga bilang mau datang?” Laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Laut dan Biru dengan perlahan, jika boleh jujur Biru sempat terpanah melihat eloknya wajah milik sang pria berambut hitam legam tersebut. Membuatnya sukses gagal fokus untuk sesaat.

“Biasalah, aku kangen sama anak-anak panti. Oh iya, nih ada sedikit buat nambah-nambah stok.” Laut memberikan plastik besar berisi tepung, beras, juga minyak yang tadi ia beli.

“Kowe iku, tak kandani ojo repot-repot nggawa apa-apa yen arep dolan mrene.”
(Kamu, sudah kubilang jangan repot-repot membawa apa pun jika ingin main ke sini.)

“Loh, ya gapapa ini kan buat anak-anak, bang. Aku ga tenang kalo ga bawa apa-apa buat mereka jadi minimal jajanan sama bahan pangan tambahan.”

Ya wis sakkarepmu, lah. Ngomong-ngomong itu siapa?” Agaknya laki-laki itu menangkap presensi yang 'tak pernah netranya tangkap selama ini kala Laut berkunjung ke rumahnya.

“Kenalin dia Biru Renjana, temanku."”

“Ohh teman .... Bener nih teman? Teman apa teman?? Hayo.”

“Mulai deh mulai.” Sunggut Laut yang disahuti oleh tawa renyah laki-laki tersebut.

“Halo kak, aku Biru Renjana sering dipanggil Biru.”

“Aku Haris Sastrodjoyo, seringnya dipanggil bang Har sama Laut. Salam kenal ya!” Senyum Haris mengembang manis, sungguh candu.

“Bang, kamu masak ya?”

“Iya, kok tau?”

“Itu apronmu, Masakan kamu udah beres kah?”

“LOH YA TUHAN, LUPA AKU LAGI MASAK! SEK YO!” Tanpa banyak basa-basi Haris berlari memasuki rumahnya, panik setengah mati saat ingat kompornya belum ia matikan, habis sudah gosong lauk makan mereka malam ini.

Sedangkan disisi lain Laut menggelangkan kepala takjub melihat Haris yang mampu terus bertambah hidup dengan kebiasaan cerobohnya itu.

“Jadi di mana ibu pantinya atau bapak pantinya?” Pertanyaan Biru mengalihkan perhatian Laut, laki-laki itu kembali mendekat lalu menatap pada anak-anak yang masih asik bermain di dunianya sendiri.

“Mereka ga punya, ibu atau bapak panti. Orang tadi Bang Haris satu-satunya yang mereka miliki saat ini.” Menjeda ucapannya Laut memilih duduk diatas rerumputan menghadap ke arah anak-anak tersebut.

“Bang Haris kerja untuk memenuhi segala kebutuhan mereka, dari toko ke toko, proyek ke proyek semua dia lakuin bahkan masak pun dia jabanin agar anak-anak merasa tercukupi. Sebenarnya mereka dulu punya ibu panti, tapi ga lama kemudian Tuhan panggil ibu baik hati itu untuk pulang lebih dulu, Bang Haris satu-satunya anak paling besar diantara anak panti lain mengambil alih tanggung jawab untuk membesarkan adik-adiknya, dia memilih untuk enggak lanjut kuliah dan cari kerja supaya adik-adiknya bisa melanjutkan pendidikan makanya aku merasa ga enak hati kalau berkunjung ga bawa apa-apa.” Ini yang kedua atau ketiga? Entahlah tiap kali Biru berbicara kepada Laut maka akan selalu ada arti di dalam kalimatnya, Laut benar-benar bisa membuat dia terdiam.

“Jadi sekarang kak Haris sendiri yang jaga tempat dan anak-anak ini?”

“Iya, dia gamau anak-anak sampai terlantar setelah Ibu panti mereka pergi.” Sunyi, Biru kembali tercekat dirinya dipaksa bangun dan menyadari bahwa lebih banyak orang yang menderita di luar sana tanpa dirinya sadari, dia tak terluka sendiri, secara harfiah dia terluka bersama orang-orang lain namun dengan luka yang berbeda.

“Mereka itu laskar, Biru. Kuat dan 'tak akan hancur oleh apapun yang menghadang. Harap adalah perisai mereka dan tawa adalah pedang mereka.”

Laut dan Biru kembali terdiam sembari memandang anak-anak dengan lekat, tanpa mereka sadari seorang anak perempuan kecil mendekat ke arah mereka sembari membawa sebuah buku. “Kakak cantik, mau bacakan dongeng untuk Kiara?”

Tangan mungil Kiara menarik pelan ujung baju milik Biru lalu satu tangannya lagi dia gunakan untuk menyodorkan sebuah buku dongeng, membuat Biru maupun Laut tertawa gemas dan dengan senang hati Biru mengabulkan keinginan gadis kecil itu.

“Tentu saja! Sini duduk di pangkuan kakak.”

Hari itu, Biru dan Laut kembali seperti disadarkan oleh fakta berat kala kehidupan dapat lebih kejam dari yang mereka alami, namun tanpa disadari batas dari tiap-tiap orang berbeda untuk sebuah masalah, setiap orang pasti memiliki porsi sakitnya masing-masing.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Ravenhart's
Ravenhart's

Written by Ravenhart's

Sedikit goresan dari pemohon kedamaian pada sang Semesta.

No responses yet

Write a response